Topeng Ireng (sering juga disebut Dayakan atau Topeng Hitam) merupakan salah satu kesenian tradisional rakyat yang berkembang di daerah Magelang, Jawa Tengah. Sejarah dari topeng ireng ini muncul sebagai bentuk transformasi dari seni baris (tari keprajuritan) peninggalan masa kolonial dan pengaruh latihan bela diri tradisional masyarakat setempat. Gerakannya banyak terinspirasi dari latihan ketangkasan militer, tetapi dikemas dalam bentuk tarian rakyat. Perkembangan topeng ireng Awalnya dimainkan sebagai hiburan rakyat di lereng Merapi-Merbabu, kemudian berkembang menjadi media penyampaian dakwah Islam melalui tembang Jawa yang disisipkan dengan nilai-nilai keagamaan. Nama Topeng Ireng sendiri merujuk pada kostum penarinya yang didominasi warna hitam, dilengkapi rias wajah dan hiasan kepala menyerupai bulu merak atau ayam hutan. Meskipun dinamakan “topeng”, para penari sebenarnya tidak mengenakan topeng penuh, melainkan rias wajah (make-up) tebal dan ornamen yang menutupi sebagian wajah.

Filosofi kesenian ini erat kaitannya dengan nilai kehidupan masyarakat Jawa:
Kesederhanaan dan Kebersamaan
Gerakan tari dilakukan secara berkelompok dan kompak, melambangkan persatuan serta kekuatan gotong royong masyarakat desa.
Keteguhan dan Semangat Juang
Gerakannya lincah, gagah, dan enerjik, mencerminkan jiwa keprajuritan serta daya tahan menghadapi kesulitan hidup.
Keharmonisan dengan Alam
Kostum yang berwarna-warni, hiasan bulu, serta rias wajah mencerminkan kedekatan manusia dengan alam sekitar dan simbolisasi kekuatan alami.
Spiritual dan Religius
Dalam pertunjukannya sering diselipkan shalawat, doa, atau syair Islami, melambangkan keselarasan antara budaya lokal dan nilai-nilai keagamaan.
Di Desa Banyubiru, topeng ireng dilestarikaqn oleh 2 kelompok kesenian aktif, yaitu Majanil Muslimin dari dusun Gununggono dan Setyo Kawedar dari Dusun Pandean. kedua kelompok ini sering tampil dalam berbagai acara, mulai dari hajatan warga, pengajian besar, hingga festival budaya tahunan